Mimpi Sang Bocah
Cerpen: Ni Komang Ariani
Didit
masih terpekur memandangi layar tv yang menyala. Sudah dua minggu Ibu tidak
pulang dan keadaan rumah semakin berantakan. Bapak tidak pernah mau mengerjakan
pekerjaan rumah, walau ia lebih banyak menganggur. Bapak lebih sering kelihatan
bengong daripada mengarjakan apapun. Diditlah yang lebih banyak mengurus Lita
adiknya yang beru berusia tiga tahun, sementara Mona adiknya yang berumur lima
tahun asyik main sendiri entah kemana.
Mungkin Mona main ke tetangga dan merengek minta
makan di sana. Sudah tiga hari tidak ada makanan sama sekali dirumah. Bapak
tidak memasak dan tidak berusaha mencari makanan buat mereka. Selama hampir dua
minggu Diditlah yang memasak nasi dengan magic jar dengan lauk seadanya, lebih
sering kerupuk atau mi instan. Bapak tidak pernah sungguh bbekerja keras untuk
keluarga.
Pekerjaan sebagai tukang servis elektronik
dikerjakan Bapak dengan asal-asalan sehingga tidak ada orang yang menjadi
langganan Bapak. Bapak lebih sering menipu daripada sungguh-sungguh bekerja.
Bila tidak ada uang yyang masuk ke kantongnya, Diditlah yang menjadi
pelampiasan kemarahan bapak. Kata-kata makian diterima Didit dengan dada yang
meradang. Bapak berkali-kali mengatakan Didit anak yang tidak berguna, anak
yang keras kepala, sering menggusir Didit, bahkan mengatakan akan membuang
Didit di jalan.
Didit menghembuskan napas perlahan, merasakan hangat
bara di sana. Didit mengelus perutnya dan melihat jam dinding. Sudah jam dua
siang. Belum sebutir makanan pun yang masuk ke perutnya. Tadi pagi ia sempat
menyuapi Lita dengan sepotong pisang gorengyang dikasih Mbak Watiyang
mengontark di kamar sebelah. Idit sedang berpikir keras untuk mencari uang agar
besok mereka bisa makan.
Didit ingin menelepon Ibu agar segera pulang, tapi
kata Bapak, Ibu sendiri tidak bisa pulang karena tidak bisa membayar biaya
rumah sakit. Kapankah Ibu akan pulang? Didit sudah berniat untuk bekerja, tapi
ia benar-benar tidak tahu harus bekerja apa. Lamunan Didit buyar dengan
kedatangan kedatangan Bapak yang tergopoh-gopoh. Terlihat jelas wajah Bapak
merah padam. Didit belum sempat berpikir banyak ketika Bapak melesat manarik
leher kaosnya. Satu tangannya lagi terkepal, siap mendaratkan pukulan. Didit
mengkeret ketakutan.
“bisa-bisanya kamu mengemis-ngemis ke oang lain,
bikin Bapakmu ini malu dan diremehkan. Apa kamu tidak bisa mengerem perut
gembulmu biar tidak bikin malu keluarga?”
“maksud Bapak apa? Didit tidak mengemis….”
“bisa-bisanya kamu minta makanan ke para tetangga.
Lebih baik aku mati kelaparan daripada mengemis kepada mereka. Mana harga
dirimu sebagai laki-laki?”
“Bapak yang keterlaluan….” Suara Didit meninggi,
kedua bola matanya basah menahan takut.
“bisa-bisanya Bapak membiarkan anak Bapak yang masih
kecil kelaparan? Mana tanggung jawab Bapak sebagai orang yang menyebabkan
anak-anak itu lahir ke dunia. Bapak yang berutang kepada kami…” air mata Didit
mengalir deras dari melewati kedua
pipinya yang tirus. Dadanya yang membara oleh amarah telah membuatnya sanggup
untuk bicara.
“barani-beraninya kamu melawan Bapakmu. Durhaka
kamu. Pergi kamu. Lebih baik aku tidak punya anak daripada punya anak seperti
kamu. Aku mau lihat apa kamu bisa hidup dijalananseperti kata-kata mu yang
gagah itu. Paling-paling kamu hanya bisa mengemis karena kamu memang tidak
punya harga diri..” menggelar suara Bapak.
Dengan mata
memerah Bapak mengumpulkan semua pakaian Didit dan memasukkan ke sebuah
tas. Tubuh Didit yang membungkuk didorong-dorongnya dengan kaki. Lalu Bapak
melesat meninggalkan rumah dengan langkah yang garang. Wajah Didit beku. Putih
seperti tidak lagi dialiri darah.
Ini untuk kesekian kalinya bapak mengusirnya.
Terbayang wajah Ibu. Ibu pasti akan sangat kawatir jika ia meninggalkan rumah.
Terbayang wajah Lita dan Mona yang tidak
berdosa. Bagaiman nasib kedua adiknya itu bila ia pergi. Mengapa Ibu pergi
begitu lama dan meninggalakan anak-anaknya yang terlantar? Mengapa Ibu tidak
boleh pulang karena ia tidak mampu membayar biaya melahirkan? Bukankah dengan
tinggal di rumah sakit, biaya yang harus dibayar Ibu akan semakin banyak? Apakah
ibu akan selamanya tinggal di rumah sakit dan menjadi sandera?
Mengapa rumah sakit menyandera, Bukan mengobati?
Taukah para pemilik rumah sakit itu bahwa ada tiga anak terancam nyawanya
karena di telantarkan. Barangkali nyawa mereka bertiga tidak sebanding dengan
biaa melahirkan yang harus di bayar Ibu. Berbagai pertanyaan berkecambuk di
benak Didit namun tidak satu pun yang mampu ia jawab. Didit bertekad untuk
mencari Ibu atau paling tidak meneleponnya untuk mengabarkan keadaan mereka.
Didit ingin pergi dari rumah karena ia begitu
membenci Bapak, namun tak tega melihat kedua adiknya terlantar. Kebimbangan
berkecambuk di hatinya, sementara rasa lapar membuat perutnya terasa terpilin.
Didit meringis memegangi perutnya. Matanya meremang oleh air mata. Bagaimana
pun Didit adalah seorang bocah yang baru melewati umur sepuluh tahun. Ia merasa
takut, marah, sedih, kecewa, cemas, bingung, lelah, dan lapar. Segala rasa itu
bercampur aduk di benak Didit. Didit memaksakan diri untuk melangkahkan
kakinya.
Matahari mulai menggelincir ke barat. Hawa panas
yang tadinya menyengan kulit sudah mulai terasa sejuk. Dengan badan lemas,
Didit melangkah perlahan-lahan menuju jalan besar. Sebetulnya Didit tak tahu
apa yang akan ia lakukan. Ia hanya merasa bahwa ia memang harus berjalan.btidak
seorangpun memperhatikan kepergian Didit. Tetangga-tetangga kontrakanya sibuk
dengan urusan masing-masing. Untunglah Lita sedang tertidur di komtrakan Mbak
wati, dan Mona sedang bermain di rumah Pak De pemilik kontrakan.
Jadi, Didit merasa tenang meninggalkannya.
Mudah-mudahan mereka berbaik hati memberi sedikit makanan kepada kedua adiknya
itu. Didit melangkahkan kakinya menyusuri jalan sempit diantara rumah-rumah
kontrakan yang diapit oleh kompleks perumahan yang di pagari tembok-tembok tinggi.
Langkahnya belum jauh ketika ia merasakan sesuatu yang tajam menghujam kakinya.
Didit mengerang menahan sakit, sementara darah bercucuran deras dari kakinya.
Didit terus mengaduh-aduh sambil berusaha mencabut
paku empat senti yang menancap di kakinya. Rupanya sandal bututnya tidak mampu
menahan ketajaman paku. Seorang tukang bangunan yang sedari tadi bekereja
menghampiri Didit.
“kenapa kamu?”
“ketusuk paku, Bang!” kata Didit lirih sambil
memegangi kakinya yang berdarah.
“makanya hati-hati. Rumah mu di mana?”
“sana Bang!” tunjuk Didit ke arah rumahnya.
“tapi aku mau ke jalan besar!”
“jalan besar apa? Kakimu ngocor begitu.”
”Aku anter situ pulang. Kaki situ mesti cepet
diobatin.”
“dirumah tidak ada orang, Bang. Orang tuaku lagi
tidak ada dirumah.”
“lalu selama ini yang kasih makan kamu siapa? Aku
minta obat merah dulu kesana. Tunggu sini,” kata si tukang bangunan.
Didit memegang erat telapak kakinya yang deras
mengucurkan darah. Ia merasa tubuhnya bertambah lemas. Ketika si tukang
bangunan kembali membawa obat merah, kesadaran Didit tak lagi sempurna. Ia
hanya bisa pasrah ketika si tukang bangunan memapahnya sampai rumah.
Begitulah, cerita Didit menuju ke babak akhir. Darah
yang mengucur dari telapak kakinya berangsung-angsung berkurang. Namun kaki itu
menjadi bengkak dan membuat tubuh Didit menjadi demam dan merasa tubuhnya kaku.
Para tetangga yang tidak paham penyakit Didit hanya berusaha mengobati dengan
berbagai ramuan dan jamu-jamuan yang dibeli di warung. Selama beberapa hari
Didit hanya berbaring di empat tidut.
Tubuhnya meriang dan otot perutnya terasa keras.
Bapak memandangnya dengan mata sukar di artikan. Berkali-kali Bapak membanting barang-barang
rumah pertanda kekesalan telah memuncak di hatinya. Sampai kondisi Didit menjadi
sangan parah. Tubuhnya kejang-kejang, dan ia sulit membuka mulutnya sehingga
para tetangga segera membawanya ke bidan. Namun sang bidan pun sudah angkat
tangan karena kondisi Didit sudah teramat parah.
Akhirnya, Didit terdampar di rumah sakit di mana
Ibunya disandera. Keinginan Didit untuk bertemu ibunya terkabul, hanya sayang,
sehari berada di rumah sakit dengan kondisi yang semakin kritis, nyawa Didit
lepas dari raga, membawa setumpuk mimpi yang pernah ada di kepalanya. Ibunya
hanya memandangi kepergiannya dengan mata bengkak dan perasaan yang hancur
lebur.
MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR CERPEN
(MIMPI
SANG BOCAH)
I.Unsur intrinsik
1. TEMA :
2.LATAR :
a.Latar tempat :
-
Di sebuah rumah kontrakan (paragraf 1, kalimat 1 dan 2) dan (paragraf
4,kalimat ke 5)
-Jalan sempit diantara rumah-rumah kontrakan (paragraph 11 kalimat ke 3)
-Rumah sakit (paragraf 16, kalimat ke 1 dan ke 2)
b. Latar waktu
a.Siang hari (paragraph
4 kalimat ke 3)
b.Sore hari (paragraf
10 kalimat ke 1)
C.Latar sosial
3.ALUR
-Alur maju
4.KONFLIK :
Konflik internal :
a) Ketika
Didit berpikir keras untuk mencari uang agar besok bisa makan.
b) Berbagai
pertanyaan berkecambuk di benak Didit, tapi tak satupun mampu ia jawab.
c) Ingin
pergi dari rumah karena ia membenci Bapak, namun tak terga melihat dua adiknya
terlantar.
d) Kebimbangan
berkecambukdihatinya, sementara rasa lapar membuat perutnya terasa terplin.
e) Mersa
takut, sedih, marah, kecewa, cemas, binggung, leleh, lapar. Segala rasa itu
bercampur aduk di benak Didit.
Konflik
eksternal:
a) Didit
menjadi pelampiasan kemarahan Bapak dan diusir pergi oleh Bapaknya.
b) Bapak
menarik leher kaos Didit, dan terjadilah perang mulut antara Didit dan
Bapaknya.
c) Tubuh
Didit didorong-dorong dengan kaki oleh Bapaknya.
5.
TOKOH :
Didit, Lita, Mona, Bapak, Ibu, Mbak
Wati, Pak De, tukang bangunan.
6.
PENOKOHAN : Watak, sikap atau perilaku tokoh yang digambarkan secara fisik ataupun lahir batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar