Sabtu, 26 Oktober 2013

mengidentifikasi unsur cerpen mimpi sang bocah



Mimpi Sang Bocah
Cerpen: Ni Komang Ariani
                
Didit masih terpekur memandangi layar tv yang menyala. Sudah dua minggu Ibu tidak pulang dan keadaan rumah semakin berantakan. Bapak tidak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah, walau ia lebih banyak menganggur. Bapak lebih sering kelihatan bengong daripada mengarjakan apapun. Diditlah yang lebih banyak mengurus Lita adiknya yang beru berusia tiga tahun, sementara Mona adiknya yang berumur lima tahun asyik main sendiri entah kemana.
Mungkin Mona main ke tetangga dan merengek minta makan di sana. Sudah tiga hari tidak ada makanan sama sekali dirumah. Bapak tidak memasak dan tidak berusaha mencari makanan buat mereka. Selama hampir dua minggu Diditlah yang memasak nasi dengan magic jar dengan lauk seadanya, lebih sering kerupuk atau mi instan. Bapak tidak pernah sungguh bbekerja keras untuk keluarga.
Pekerjaan sebagai tukang servis elektronik dikerjakan Bapak dengan asal-asalan sehingga tidak ada orang yang menjadi langganan Bapak. Bapak lebih sering menipu daripada sungguh-sungguh bekerja. Bila tidak ada uang yyang masuk ke kantongnya, Diditlah yang menjadi pelampiasan kemarahan bapak. Kata-kata makian diterima Didit dengan dada yang meradang. Bapak berkali-kali mengatakan Didit anak yang tidak berguna, anak yang keras kepala, sering menggusir Didit, bahkan mengatakan akan membuang Didit di jalan.
Didit menghembuskan napas perlahan, merasakan hangat bara di sana. Didit mengelus perutnya dan melihat jam dinding. Sudah jam dua siang. Belum sebutir makanan pun yang masuk ke perutnya. Tadi pagi ia sempat menyuapi Lita dengan sepotong pisang gorengyang dikasih Mbak Watiyang mengontark di kamar sebelah. Idit sedang berpikir keras untuk mencari uang agar besok mereka bisa makan.
Didit ingin menelepon Ibu agar segera pulang, tapi kata Bapak, Ibu sendiri tidak bisa pulang karena tidak bisa membayar biaya rumah sakit. Kapankah Ibu akan pulang? Didit sudah berniat untuk bekerja, tapi ia benar-benar tidak tahu harus bekerja apa. Lamunan Didit buyar dengan kedatangan kedatangan Bapak yang tergopoh-gopoh. Terlihat jelas wajah Bapak merah padam. Didit belum sempat berpikir banyak ketika Bapak melesat manarik leher kaosnya. Satu tangannya lagi terkepal, siap mendaratkan pukulan. Didit mengkeret ketakutan.
“bisa-bisanya kamu mengemis-ngemis ke oang lain, bikin Bapakmu ini malu dan diremehkan. Apa kamu tidak bisa mengerem perut gembulmu biar tidak bikin malu keluarga?”  

“maksud Bapak apa? Didit tidak mengemis….”
“bisa-bisanya kamu minta makanan ke para tetangga. Lebih baik aku mati kelaparan daripada mengemis kepada mereka. Mana harga dirimu sebagai laki-laki?”
“Bapak yang keterlaluan….” Suara Didit meninggi, kedua bola matanya basah menahan takut.
“bisa-bisanya Bapak membiarkan anak Bapak yang masih kecil kelaparan? Mana tanggung jawab Bapak sebagai orang yang menyebabkan anak-anak itu lahir ke dunia. Bapak yang berutang kepada kami…” air mata Didit mengalir deras dari  melewati kedua pipinya yang tirus. Dadanya yang membara oleh amarah telah membuatnya sanggup untuk bicara.
“barani-beraninya kamu melawan Bapakmu. Durhaka kamu. Pergi kamu. Lebih baik aku tidak punya anak daripada punya anak seperti kamu. Aku mau lihat apa kamu bisa hidup dijalananseperti kata-kata mu yang gagah itu. Paling-paling kamu hanya bisa mengemis karena kamu memang tidak punya harga diri..” menggelar suara Bapak.
Dengan mata  memerah Bapak mengumpulkan semua pakaian Didit dan memasukkan ke sebuah tas. Tubuh Didit yang membungkuk didorong-dorongnya dengan kaki. Lalu Bapak melesat meninggalkan rumah dengan langkah yang garang. Wajah Didit beku. Putih seperti tidak lagi dialiri darah.
Ini untuk kesekian kalinya bapak mengusirnya. Terbayang wajah Ibu. Ibu pasti akan sangat kawatir jika ia meninggalkan rumah. Terbayang  wajah Lita dan Mona yang tidak berdosa. Bagaiman nasib kedua adiknya itu bila ia pergi. Mengapa Ibu pergi begitu lama dan meninggalakan anak-anaknya yang terlantar? Mengapa Ibu tidak boleh pulang karena ia tidak mampu membayar biaya melahirkan? Bukankah dengan tinggal di rumah sakit, biaya yang harus dibayar Ibu akan semakin banyak? Apakah ibu akan selamanya tinggal di rumah sakit dan menjadi sandera?
Mengapa rumah sakit menyandera, Bukan mengobati? Taukah para pemilik rumah sakit itu bahwa ada tiga anak terancam nyawanya karena di telantarkan. Barangkali nyawa mereka bertiga tidak sebanding dengan biaa melahirkan yang harus di bayar Ibu. Berbagai pertanyaan berkecambuk di benak Didit namun tidak satu pun yang mampu ia jawab. Didit bertekad untuk mencari Ibu atau paling tidak meneleponnya untuk mengabarkan keadaan mereka.
Didit ingin pergi dari rumah karena ia begitu membenci Bapak, namun tak tega melihat kedua adiknya terlantar. Kebimbangan berkecambuk di hatinya, sementara rasa lapar membuat perutnya terasa terpilin. Didit meringis memegangi perutnya. Matanya meremang oleh air mata. Bagaimana pun Didit adalah seorang bocah yang baru melewati umur sepuluh tahun. Ia merasa takut, marah, sedih, kecewa, cemas, bingung, lelah, dan lapar. Segala rasa itu bercampur aduk di benak Didit. Didit memaksakan diri untuk melangkahkan kakinya.
Matahari mulai menggelincir ke barat. Hawa panas yang tadinya menyengan kulit sudah mulai terasa sejuk. Dengan badan lemas, Didit melangkah perlahan-lahan menuju jalan besar. Sebetulnya Didit tak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia hanya merasa bahwa ia memang harus berjalan.btidak seorangpun memperhatikan kepergian Didit. Tetangga-tetangga kontrakanya sibuk dengan urusan masing-masing. Untunglah Lita sedang tertidur di komtrakan Mbak wati, dan Mona sedang bermain di rumah Pak De pemilik kontrakan.
Jadi, Didit merasa tenang meninggalkannya. Mudah-mudahan mereka berbaik hati memberi sedikit makanan kepada kedua adiknya itu. Didit melangkahkan kakinya menyusuri jalan sempit diantara rumah-rumah kontrakan yang diapit oleh kompleks perumahan yang di pagari tembok-tembok tinggi. Langkahnya belum jauh ketika ia merasakan sesuatu yang tajam menghujam kakinya. Didit mengerang menahan sakit, sementara darah bercucuran deras dari kakinya.
Didit terus mengaduh-aduh sambil berusaha mencabut paku empat senti yang menancap di kakinya. Rupanya sandal bututnya tidak mampu menahan ketajaman paku. Seorang tukang bangunan yang sedari tadi bekereja menghampiri Didit.
“kenapa kamu?”
“ketusuk paku, Bang!” kata Didit lirih sambil memegangi kakinya yang berdarah.
“makanya hati-hati. Rumah mu di mana?”
“sana Bang!” tunjuk Didit ke arah rumahnya.
“tapi aku mau ke jalan besar!”
“jalan besar apa? Kakimu ngocor begitu.”
”Aku anter situ pulang. Kaki situ mesti cepet diobatin.”
“dirumah tidak ada orang, Bang. Orang tuaku lagi tidak ada dirumah.”  
“lalu selama ini yang kasih makan kamu siapa? Aku minta obat merah dulu kesana. Tunggu sini,” kata si tukang bangunan.




Didit memegang erat telapak kakinya yang deras mengucurkan darah. Ia merasa tubuhnya bertambah lemas. Ketika si tukang bangunan kembali membawa obat merah, kesadaran Didit tak lagi sempurna. Ia hanya bisa pasrah ketika si tukang bangunan memapahnya sampai rumah.
Begitulah, cerita Didit menuju ke babak akhir. Darah yang mengucur dari telapak kakinya berangsung-angsung berkurang. Namun kaki itu menjadi bengkak dan membuat tubuh Didit menjadi demam dan merasa tubuhnya kaku. Para tetangga yang tidak paham penyakit Didit hanya berusaha mengobati dengan berbagai ramuan dan jamu-jamuan yang dibeli di warung. Selama beberapa hari Didit hanya berbaring di empat tidut.
Tubuhnya meriang dan otot perutnya terasa keras. Bapak memandangnya dengan mata sukar di artikan.  Berkali-kali Bapak membanting barang-barang rumah pertanda kekesalan telah memuncak di hatinya. Sampai kondisi Didit menjadi sangan parah. Tubuhnya kejang-kejang, dan ia sulit membuka mulutnya sehingga para tetangga segera membawanya ke bidan. Namun sang bidan pun sudah angkat tangan karena kondisi Didit sudah teramat parah.
Akhirnya, Didit terdampar di rumah sakit di mana Ibunya disandera. Keinginan Didit untuk bertemu ibunya terkabul, hanya sayang, sehari berada di rumah sakit dengan kondisi yang semakin kritis, nyawa Didit lepas dari raga, membawa setumpuk mimpi yang pernah ada di kepalanya. Ibunya hanya memandangi kepergiannya dengan mata bengkak dan perasaan yang hancur lebur.













MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR CERPEN
                        (MIMPI SANG BOCAH)
I.Unsur intrinsik
1. TEMA         : 
2.LATAR        :
a.Latar tempat :
- Di sebuah rumah kontrakan                                                                                                    (paragraf 1, kalimat 1 dan 2) dan (paragraf 4,kalimat ke 5)
-Jalan sempit diantara rumah-rumah kontrakan                                                                                   (paragraph 11 kalimat ke 3)
-Rumah sakit                                                                                                                                        (paragraf 16, kalimat ke 1 dan ke 2)
b. Latar waktu
a.Siang hari                                                                                                                                         (paragraph 4 kalimat ke 3)
b.Sore hari                                                                                                                                           (paragraf 10  kalimat ke 1)
C.Latar sosial
3.ALUR
-Alur maju
4.KONFLIK :
Konflik internal :
a)      Ketika Didit berpikir keras untuk mencari uang agar besok bisa makan.
b)      Berbagai pertanyaan berkecambuk di benak Didit, tapi tak satupun mampu ia jawab.
c)      Ingin pergi dari rumah karena ia membenci Bapak, namun tak terga melihat dua adiknya terlantar.
d)     Kebimbangan berkecambukdihatinya, sementara rasa lapar membuat perutnya terasa terplin.
e)      Mersa takut, sedih, marah, kecewa, cemas, binggung, leleh, lapar. Segala rasa itu bercampur aduk di benak Didit.


Konflik eksternal:
a)      Didit menjadi pelampiasan kemarahan Bapak dan diusir pergi oleh Bapaknya.
b)      Bapak menarik leher kaos Didit, dan terjadilah perang mulut antara Didit dan Bapaknya.
c)      Tubuh Didit didorong-dorong dengan kaki oleh Bapaknya.

5. TOKOH :
       Didit, Lita, Mona, Bapak, Ibu, Mbak Wati, Pak De, tukang bangunan.

6. PENOKOHAN : Watak, sikap atau perilaku tokoh yang digambarkan secara fisik    ataupun lahir batin.





                                                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar